KISAH NYATA TANJUNG “BUKPARA”
20 OKTOBER 1999 – 27 NOVEMBER 1999
Tanjung “BUKPARA” ada sebuah tanjung yang terletak di atas mata air panas
pantai Lehi. Sebelumnya nama Tanjung ini bernama “Bowong Ake Mateti” dan masuk dalam wilayah dusun III (Mini) Desa
Lehi. Pada tahun 1999 terjadi longsor yang diakibatkan oleh pengerukan
alat-alat berat pasca dibangunnya jalan provinsi. Batu-batu yang berukuran
besar dengan bobot kurang lebih 30 sampai dengan 40 ton berjatuhan dari tebing
dan menutup akses jalan yang menghubungkan Desa Induk yaitu Desa Lehi dengan
anak desa yakni Dusun III (Mini) dan seluruh desa-desa yang berada di bagian
utara.
Hal ini menjadi masalah yang berat
bagi pemerintah dan masyarakat karena dengan tertutupnya jalan ini sangat
berdampak pada perekonomian masyarakat dan membuat harga bahan pokok naik tiga
kali lipat dari yang sebelumnya. Untuk mengantisipasi hal ini maka Pemerintah
menghimbau masyarakat melakukan kerja bakti guna menyingkirkan batu-batu yang
begitu banyak yang telah menutupi jalan, namun
yang datang hanyalah sebagian kecil masyarakat Desa Induk dan masyarakat dari
dusun III (Mini). Dengan bermodalkan semangat, kepercayaan dan keberanian
masyarakat mulai membersihkan jalan yang tertutup dengan longsoran batu tetapi
tidak membuahkan hasil dikarenakan begitu besar batu yang telah menutupi jalan dan
mustahil dikerjakan hanya dengan menggunakan tenaga manusia.
Pemerintah Desa akhirnya memutuskan
untuk meminta bantuan tenaga dari desa lain melalui pemerintah kecamatan.
Alhasil permohonan bantuan itupun disambut baik oleh pemerintah kecamatan
dengan mengirimkan surat ke desa-desa yang ada di bagian utara Kecamatan Siau
Barat mulai dari Desa Kinali sampai dengan Desa Batubulan untuk membantu
pekerjaan. Masyarakat dari desa-desa lain itupun datang ke lokasi namun beberapa
dari mereka yang datang pada kenyataannya bukan untuk membantu tetapi mereka
hanya datang melihat sambil berkata pekerjaan ini mustahil untuk dikerjakan
hanya dengan tenaga manusia.
Hari demi hari, pekerjaan untuk membuka
akses jalan ini belum membuahkan hasil dan masyarakatpun mulai mengeluh karena
kelelahan. Pemerintah mengambil inisiatif untuk meminjam alat Takal dari Desa
Sawang untuk dipakai sebagai alat bantu. Namun alat itupun tidak mampu untuk
menggeser batu-batu besar malahan rantai takal tersebut putus.
Kepala desa pada waktu adalah Bapak
Hemskerk Tamara Lumiu tetap memberikan semangat kepada masyarakat dusun III
(Mini) dengan berkata “Rantai takal boleh saja putus, tapi semangat
kita jangan sampai putus. Mari kita kembali bekerja dengan berharap Tuhan pasti
menolong kita, kita pasti bisa membuka jalan ini”. Hal ini membuat
semangat masyarakat bangkit kembali. Laki-laki dan perempuan dikerahkan untuk
membersihkan jalan tersebut. Mereka bekerja siang dan malam hari dengan hanya
menggunakan seutas tambang sebagai alat untuk menarik serta batang pohon
kelapa. Alhasil satu persatu batu yang menutupi jalan berhasil digulingkan.
Akhirnya
dengan semangat dan kegigihan dari masyarakat yang bekerja siang dan malam tanpa
mengenal lelah selama kurang lebih satu bulan akses jalan dapat dibuka dan
perekonomian menjadi normal kembali.
Oleh karena semangat persatuan dan
kesatuan serta antusias masyarakat yang begitu luar biasa, maka Pemerintah Desa
Lehi pada waktu itu melaksanakan Ibadah syukur di lokasi yang terkena bencana
longsor tersebut serta mengubah nama tanjung yang dulunya bernama “BOWONG AKE MATETI” menjadi “TANJUNG BUKPARA”
BUKPARA adalah singkatan dari :
BUKTI USAHA, PERSATUAN,
KESATUAN ANTUSIAS RAKYAT.
Tanjung Bukpara dituliskan pada
sebuah batu yang berukuran tengah kurang lebih 1 meter terletak dipinggir jalan
raya dan sampai sekarang ini masih ada. Beberapa batu yang berukuran besar
sengaja tidak dibuang tetapi dijadikan sebagai penyanggah untuk mencegah terjadinya
longsor agar tidak mengenai bak mata air panas Lehi.
Demikian kisah nyata tentang
penamaan Tanjung “BUKPARA” yang
sekarang ini masuk dalam wilayah Kampung Lehi Kecamatan Siau Barat.
Sumber:
Sinorita Lumiu
(Salah Satu Pelaku Sejarah)