MAKAAMPO

(Dirangkum oleh : W. Ch. Harman)

MENGENAL BUDAYA SANGIHE TALAUD
Suatu malam yang terang yang disinari bulan purnama, Makaampo pergi menangkap ikan di teluk Laine. Tidak diduga-duga sepasukan musuh menyelinap dari arah laut menuju darat menyerang Makaampo. Makaampo terkejut, walau ia tidak bersenjata ia melawannya. Ikan tangkapannya diayun-ayunkan ke udara. Karena cahaya bulan ikan itu tampak bagaikan pdang yang diayun-ayunkan, sehingga musuh takut dan melarikan diri. Sayangnya seorang budak Makaampo bukanlah pedang tetapi ikan belanak (ikan gare). Musuhpun menyerang untuk kedua kalinya. Terjadilah perempuran, kejar mengejar dari teluk Laine sampai ke teluk Peta. Di tanjung Lapepahe, di muka Peta, Makaampo terkepung dan tewas di tangan Ambala panglima perang Tamako yang membantu paukan Siau. Musuh Makaampo adalah pasukan Siau yang panglimanya adalah HengkengUnaung. Batu bekas sabetan Ambala membunuh Makaampo dinamai Batu Weka.

Peristiwa ini dikenang dalam nyanyian rakyat (sasambo): Pili i Ambala sarang batu weka, HengkengUnaung limuhum sebune, Nanentan bara’ e gare, Pinahun tika menda.

Dalam Bahasa Indonesia artinya: Pedang Ambala sampai ke batu belah, HengkengUnaung mengelilingi buihnya, Mengangkat pedang belanal, yang dikiranya pedang sungguhan.

Setelah pertempuran, kepala Makaampo dipisahkan dari badannya dan dibawa dengan sorak sorai kemenangan ke Siau oleh panglima HengkengUnaung. Setelah itu seorang panglima Tabukan berusaha ke Siau untuk mengmbil kembali kepala Makaampo.

Oleh sebab itu timbul lagi nyanyian rakyat (sasambo): Nebua’ bo’en Tabukan, benteng bo’en dingo’e, Tarai’ sarang Siau, memona’e Karangetang, Tarai’ mangala’ tembo’ masaghiwu’ etangulu, Tembo’ i ratu Wawengehe’ tanggulu’ en Makaampo, Enae’ bawaeng saghenaung sarang Moade i wentan balan Manuwo.

Dalam bahasa Indonesia berarti: Berangkat dari Tabukan, mengangkat kiriman, Pergi ke Siau, menuju Karangetang, Pergi mengambil kepala, membawa tengkorak, Kepala raja Bawengehe, tengkoraknya Makaampo, untuk dibawa ke Salurang (Moade) untuk dikubur di Manuwo.

Usaha ini gagal karena panglima Ambala membawa kepala tersebut ke Mengga’e dan menguburnya di Mengga’e yang sekarang dikenal dengan nama Menggawa. Peristiwa ini mengakibatkan hubungan Tabukan dan Siau menjadi tegang.

Makaampo, nama lengkapnya Makaampo Bawengehe, adalah raja pertama kerajaan Tabukan, memerintah dari tahun 1600 sampai tahun 1620. Ayahnya bernama Kulano Tangkuliwutan an ibunya bernama Nabuisan. Makaampo sebagian berdarah Mindanao karena neneknya (dari ibu) Sarah Maria berasal dari Mindanao.

Makaampo terkenal sebagai seorang yang bertubuh besar dan pemberani. Ia pernah terlibat dalam perkelahian dengan pamannya. I berhasil memenggal kepala pamannya itu, tetapi ia dikejar oleh keluarga dan orang-orang dari Soa Tebe lalu ia melarikan diri ke Talaud. Di sana ia bersembunyi di atas pohon Talise yang tinggi berdaun lebar, namun ia ketahuan dan tertangkap lalu dibawa ke Soa Tebe.

Makaampo dikenal juga sebagai seorang playboy. Ia membawa lari dua gadis kakak beradik untuk dijadikan istri. Ia dikejar dan ia bersembunyi di lereng dekat kepundan gunung Awu. Di sana ada batu besar menyerupai meja, ia tinggal di kolong batu itu. Ia merasa aman, karena bila ada yang datang ia cukup mengelindingkan batu dan orang yang menghampirinya akan kena batu itu. Sampai sekarang batu itu dinamai batu Makaampo. Menurut kepercayaan, jika batu itu terlempar ke laut maka laut akan bergelombang menimbulkan tsunami yang akan menghamtam Kempar, Tahuna, Manganitu dan Tamako.

Peristiwa pembunuhan Makaampo terjadi ketika Siau berada dibawah pimpinan raja Winsulangi (1612-1624). Peristiwa ini tidak lepas dari pergolakan politik. Kerajaan-kerajaan di Sangihe Talaud, yaitu Tabukan, Manganitu, Tahuna, Siau, Tagulandang dan Kendar saling memperluas kekuasaan, dengan saling berperang atau saling kawin mawin antara raja-raja itu. Saat itu pengaruh luar pun sangat menentukan. Portugis, Spanyol dan VOC (Belanda) saling merebut simpati raja-raja demi mendapatkan pala dan cengkeh yang saat itu sangat mahal harganya. Disamping itu agama pun saling berlomba-lomba. Katolik dibawa oleh Portugis dan Spanyol, Protestan oleh VOC (Belanda) sedang Islam oleh Mindanao dan Ternate.

Adalah Winsulangi orang Sangihe Talaud pertama yang memeluk agama Kristen. Ia dibaptis oleh Pastor Diego Magelhaens dan diberi nama Don Jeronimo Winsulangi. Setelah itu berangsur-angsur seluruh Sangihe Talaud, kecuali Kendar memeluk agama Katolik. Nama-nama raja pun memakai nama Katlik. Ketegangan antara Siau dan tabukan berangsur-angsur reda setelah Winsulangi mengambil permaisurinya dari Salutang/Tabukan yang bernama TihuwangSompe.

Tahun 1642, raja Winsulangi diganti oleh anaknya Don Harvius Fransisco Batahi yang memerintah sampai tahun 1678. dalam peperangan antara Spanyol/Portugis melawan VOC Belanda, Spanyol dan Portugis kalah, lalu VOC Belanda mengharuskan seluruh Sangihe Talaud memeluk agama Protestan. Hal ini dituangkan dalam perjanjian tanggal 9 Nopember 1677 di ternate yang ditandatangani oleh gubernur Jenderal Padtburg dari VOC Belanda dan dari raja-raja Batahi dari Siau, Aralung Nusa Philips Antoni dari Tagulandang, Vasco da Gama dari Tabukan serta Diamanti dari Manganitu.

Hubungan Tabukan dan Siau menjadi bertambah erat lagi ketika raja Batahi mengambil sebagai permaisuri, Maimuna dari Tabukan yang adalah keturunan ke empat dari Makaampo Bawengehe. Perkenalan Batahi dengan Maimuna terjadi di Ake Sembeka, Ulu Siau ketika Maimuna dalam perjalanannta ke Ternate, mampir untuk mandi di sana. Maimuna terkenal dengan kecantikannya. Ia bertubuh putih bersih dan Batahu tertarik padanya sehingga ia meminta agar Maimuna bersedia menjadi istrinya. Pada pernikahan mereka, raja Vasco da Gama, kakek Maimuna, yang adalah keturunan kedua dari Makaampo, menghadiahkan pulau di Talaud, yaitu Salengker dan Kabaruan kepada cucunya. Sebagai ungkapan syukur, anak dari raja Batahi dan permaisuri Maimuna diberi nama RarameNusa yang berarti Pendamai Nusa.

(Bahan: J.P. Sarapil, A.A.M. Bastian, S.P. Mangempuge, N. Macpal)